Bandung: Restoran tanpa piring “ALAS DAUN”

Hey, meet me again!

Bandung adalah salah satu kota favorit orang-orang Jakarta di waktu weekend atau hari libur. Kalo denger Bandung kesan yang pertama muncul adalah tempat belanja baju karena banyak FO dan tempat makan enak karena kulinernya yang sangat inovatif dan variatif. Apalagi sekarang walikotanya keren banget kang Emil, yang sangat gencar membangun dan mempercantik Bandung, terutama public servicenya. Ga mau pulang deh aku kalo berkunjung ke Bandung, aaah pokoknya abdi cinta pisan sama Bandung hehe.

Beberapa minggu yang lalu, saya, suami dan teman suami (Sigit dan Kiki) membanduuuuuuung *kataanakgaulgitungomongnya. Perjalanan ke Bandung ini sebenernya business trip suami, shipping barang untuk klien, Kebetulan hari Minggu, sekalian aja kita jalan-jalan.

Dari Jakarta kami pergi siang hari kurang lebih jam 11 siang, karena paginya temen suami ada urusan terlebih dahulu. Nyampe Bandung jam 2, karena sudah laper akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Bingung mau makan dimana? Saking banyaknya resto favorit disana. Akhirnya, suami mengajak kami ke Alas Daun. Ini bukan pertama kalinya saya ke resto ini, melainkan ke-dua kali. Tapi karena makanannya enak, jadi saya langsung mengiyakan saja late lunch disana. Alas daun adalah resto yang menyediakan makanan tradisional sunda.

Alas daun ini beralamat di : Jl. Citarum No. 34, Bandung

Ketika sampai di depan resto, akan ada tulisan besar “ALAS DAUN” diatas gedung resto. For your info, resto ini mengusung konsep bangunan yang terbuka jadi ga pake AC disana, tempatnya juga cukup luas. Menurutku lumayan nyaman walau agak panas dikit. Ketika masuk ke dalam gedung, di bagian depan akan berjejer bangku-bangku di dinning area utama untuk pengunjung yang biasanyanya datang dengan group besar. Seperti ini penampakannya:

restaurant-alas-daun

Taken from tripadvisor.com

1

Dinning area

Maapkeun ya kalo rada ngeblur fotonya. Kami mendapatkan meja di tengah. Bagi saya, meja di tengah kurang nyaman karena berada di dalam ruangan yang agak tertutup jadi gerah deh. Selain itu, meja kami berada disebelah jalur orang mondar-mandir heem tapi karena lapar ya sudah dinikmati saja. Fotonya seperti dibawah ini, no.27 adalah meja kami. Didepan meja kami terdapat counter yang menyediakan ice cream, snack dan merchandise. Di tembok atas sebelum ceiling terdapat papan-papan kecil putih berisikan testimony para pengunjung yang datang, kebanyakan sih artis-artis yang kasih testimony.

 2

Bagian tengah resto, penghubung dinning area dan food counter

 3

Sigit, Kiki, Hubby and Me

Melangkah lebih dalam ada food counter dan beberapa dinning area dengan ceiling terbuka. Aku pengen banget makan di situ sebenernya eeeh sudah penuh. Di bagian dinning area sebelah ini, lumayan adem dan sejuk karena ada anginnya. Bagian terbukannya seperti ini:

4

Lumayan seger lah yaa, ada pohon-pohon nya juga jadi makan lebih enak. Bagian terakhir resto ini adalah food counter dan cashier. Nah, ada 2 jenis menu disini, menu yang sudah dimasak dan belum di masak. Menu yang belum dimasak sebagian besar lauk (seafood), jadi kamu tinggal pilih lauknya mau digoreng, dibakar atau diapain aja tergantung selera. Menu yang sudah dimasak kebanyakan sayuran yang ditumis dan gorengan. Disini disediakan berbagai macam jenis lalapan dan sambal, dari yang sambal goang (mentah, goreng, cabe ijo, dll) Warning! sambelnya too spicy buat aku. Kalo kamu suka sambel disini puas banget bisa nyoba banyak macam sambal.

 5

Food counter & Cashier

Kami memesan beberapa menu, untuk lauk kami memesan baby shark bakar, beberapa tumisan seperti tumis bunga papaya, oseng tahu, oseng kecipir, tutuuuuuuut, beberapa sambal, dan tak ketinggalan adalah lalapan yang banyak. Harga tumisan berkisar Rp. 15.000–Rp.20.000 dan untuk untuk baby sharknya kisaran harga Rp. 35.000–Rp.45.000. untuk lalapannya Rp. 7000 bisa pilih sepuasnya, kecuali petai bakar yang saya pesan 1 papan seharga Rp. 8000, mahal ya booooo petenya hahaha. Penyajiannya unik banget, pake kuali yang biasa aku gunakan waktu aku main masak-masakan di waktu kecil.

 6

Sambal dan tumisan

 7

Mendoan, petai dan baby shark bakar

For your info, ini petama kali saya makan baby shark, rasanya…… heemm pastinya enak hihi. Tekstur dagingnya seperti lele, tidak bertulang.

Untuk menyantap makanan ini, kita tidak menggunakan piring, yang kita gunakan adalah banana leaf alias daun pisang. Nah! Itulah yang membedakan alas daun dan resto lainnya. Dengan menggunakan daun pisang, makanan terasa lebih nikmat, karena aroma daun pisang meningkatkan selera makan kita.

 8

Rice on banana leaf

Kalo ditotal semuanya, kami berempat dengan menu yang lumayan banyak itu menghabis kan Rp. 326.000. Kalo dibagi empat perorang kurang lebih membayar sekitar 80-ribuan, worth to try banget deh. Harganya juga reasonable, sesuai sama rasa dan pastinya pas di kantong saya. Kalo boleh kasih nilai untuk resto ini antara 1-10, aku kasih nilai 8,5.

Kekurangannya, waiternya harus memperbanyak senyum hehehe.

Jadi kalo kamu ke Bandung dan bingung makan masakan sunda dimana, coba aja ALAS DAUN. Dijamin pengen balik lagi *iklanbangetyabooooo hahaha.

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat.

Love, love, love

Egiyantina

17 thoughts on “Bandung: Restoran tanpa piring “ALAS DAUN”

  1. Sepeertinya lezat he he he tapi saya belum pernah ke bandung. Cuma dari postingan beberapa blogger lain di bandung memang banyak resto favorit. Kapan2 klo ada waktu saya mau deh jalan2 ke bandung

    Like

  2. Ngomong-ngomong baby shark itu ikan hiu betulan yah Mbak? Kalau iya, bukannya ikan hiu itu dilindungi? Kan kasihan kalau masih kecil tapi sudah ditangkepin dan dibikin jadi masakan… :hehe. But nevertheless, tempatnya asri yak. Masakan Sunda memang identik dengan lalapan yang tidak begitu saya sukai (anaknya benci sayur) tapi selama sambalnya pedas, maka hadjar sajah… :hihi.

    Like

Leave a comment